Islam lahir dan datang kemuka bumi diperuntukkan kepada manusia. Dengan sederet aturan dan ajarannya, Islam berupaya mengajak penganutnya untuk senantiasa mencari kebenaran dan keselamatan di jalan Tuhan (Islam). Sebagai sebuah sarana (washilah), Islam tentu bukanlah yang dimaksud oleh Tuhan (intiha al-ghayah). Yang lebih penting dan utama adalah terciptanya tatanan dunia yang harmonis, dinamis, dan saling menghargai. Kondisi seperti inilah yang digambarkan Tuhan sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Karena itu, nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, musyawarah dan sebagainya selalu dijunjung tinggi dalam Islam serta melintasi lucos dan tempus. Mengikuti logika ini, maka segala aturan yang bertentangan dengan nilai-nilai universal-kemanusiaan harus ditinjau ulang dan diganti (mansukh) dengan ajaran baru yang berdimensi nilai-nilai universal tersebut.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, Islam justru seringkali terjebak pada tindakan-tindakan dehumanis, anarkis dan teroris. Alih-alih mentransformasikan penganutnya kearah transendental, ia acap menjadi problem maker atas persoalan kemanusiaan. Hal seperti ini patut disayangnya. Tidak hanya itu, kita juga perlu merumuskan kembali Islam yang up to date, membebaskan dan humanistik. Tanpa itu, berarti kita telah mengkhianati perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan di zaman sebelum kita lahir (QS. Al-‘A’raf/7; 172)
Ada banyak hal yang menyebabkan Islam kekinian (baca : penganutnya) tidak selaras bahkan bertentangan dengan tujuan normatifnya. Pertama, cara baca terhadap Islam. Islam masih dipahami sebagai agama final dan sempurna sehingga ia menolak adanya tafsir terhadapnya. Kelompok ini memandang bahwa Islam tidak bisa ditafsirkan, ia datang hanya untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-sehari. Dan, segala apapun yang bertentangan dengan Islam (dalam pemahaman mereka) harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Karena itulah, kelompok ini cenderung rigid, eksklusif dan monolitik.Kedua, belum memahami Islam secara konprehensif, kaffah. Islam hanya dipahami sepotong-potong. Pencomotan teks keagamaan sebagai legitimasi atas tindakannya sudah menjadi lumrah diantara penganut agama baik elit agamawan maupun negara. Hanya untuk kepentingan tertentu, teks agama yang mendukung tindakannya senantiasa dipegang sebagai legitimasi, sementara teks agama yang kontra tidak pernah dibaca bahkan ditempatkan dibawah kasur. Mereka ini tidak gentle untuk menghadapi teks agama yang tidak sesuai dengan gagasannya. Karenanya, ia apriori.
Karena pencomotan itulah, perbedaan akan semakin menajam dan mengerucut menjadi truth and salvation claim. Dan, dari sanalah kekerasan menemukan lahan subur. Alasannya sangat sederhana, yakni membela dan berpegang pada perintah Tuhan sebagai teks agung yang harus dimuliakan meskipun harus membayar dengan nyawa manusia.
Fenomena seperti ini bisa dilihat dari organisasi-organisasi keagamaan yang tersebar di Indonesia. Pluralitas pemikiran, organisasi, agama tidak pernah menjadi modal dan investasi untuk melakukan dialog dan kerjasama diantara mereka. Yang terjadi dilapangan justru perpecahan (firqoh) dan saling mencurigai ditengah pluralitas tersebut, bukan dialog dan kerjasama diantara mereka.Ketiga, belum meluasnya semangat agama yang membebaskan, mendidik dan humanis dimasyarakat luas. Namun, yang berkembang ditengah masyarakat justru semangat agama yang akrab dengan kekerasan dan terorisme. Fenomena ini muncul barangkali sebagai jawaban atau pelarian atas kegelisahan dan keresahan terhadap modernitas, sekularisasi dan Barat. Bahkan, mereka memandang bahwa ajaran yang membabaskan seringkali dituding sebagai impor dari Barat yang nota bene dalam pemahaman meraka adalah kafir atau kuffar.
***
Terlepas dari ketiga hal diatas, ada satu fenomena menarik ketika membaca keberagamaan kita. Yakni, Islam sebagai nama. Ada dua pengertian tentang hal ini. Pertama, Islam hanya dijadikan simbol dan tidak pernah menjadi semangat untuk membela hak-hak kaum tertindas (al-mustad’afiyn) serta media protes terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Nama “Islam” hanya dijadikan sebagai simbol semata. Hal ini bisa dilihat dari menjamurkan organisasi Islam ataupuan sebuah diskursus yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya Jama’ah Islamiyah, Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam Emansipatoris dan lain sebagainya serta yang sinonim dengan nama Islam.
Secara simplifikatif, kesemua organisasi atau diskursus yang dibangun diatas nama “Islam” seringkali hanya menjadikan Islam sekedar nama supaya bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat bawah bahkan sering juga digunakan hanya demi target-target ekonomis semata. Sementara, tujuan dan fungsi Islam yang sebenarnya seperti membebaskan, menegakkan keadilan dan sebagainya tidak pernah menjadi tujuan utama. Hal ini sangat tampak ketika organisasi-organisasi keagamaan tersebut saling berebut kekuasaan tertentu. Karena itulah, mengembalikan Islam sebagai semangat perjuangan membela kaum tertindas dan transformasi sosial menjadi kebutuhan yang mendesak.Kedua, Islam sebagai payung dari kepelbagaian organisasi. Keanekaragaman organisasi yang memakai nama Islam ini juga menunjukkan adanya pluralitas pemaknaan dan pemahaman tentang Islam pula. Masing-masing memiliki tafsir yang berbeda-beda dan diyakini sebagai satu-satunya tafsir yang benar dan absolut.
Jika demikian, dialog dan kerjasama untuk merumuskan dan memperbincangkan masalah kemanusiaan adalah tanggungjawab bersama. Baik Islam liberal, Islam fundamentalis atau apapun namanya memiliki tanggungjawab bersama untuk menciptakan kehidupan yang berdimensi keadilan, persamaan, kebebasan dan sebagainya. Mereka tidak bisa cuci tangan atas persoalan yang dihadapi manusia. Kemiskinan, pengangguran, korban banjir, kekerasan, dehumanisasi dan lain-lain merupakan agenda bersama. Pengertian kedua inilah yang sangat tepat untuk diperjuangkan pada semua lapisan masyarakat. Artinya, perbedaan pemahamaan tentang Islam bukan menjadi penghalang untuk melakukan kerjasama dan aksi sosial bersama. Bahkan, justru harus menjadi modal untuk membangun masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua nabi.
Farid Esack, pemikir Islam dari Afrika Selatan, dengan karyanya Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, (1997) menegaskan bahwa sejarah para nabi adalah lembaran sejarah orang-orang tertindas dan termarginalkan, kecuali Musa yang dibesarkan di istana negara, Fir’un, namun ia juga berjuang bersama kaum tertindas untuk melawan bentuk dehumanisasi. Karena itulah, semua agama mempunyai pesan dan cita-cita yang sama. Yakni sama-sama memperjuangkan kaum tertindas, orang miskin, teraniaya dan sebagainya. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar